Kamis, 05 Januari 2012

Rod Stroke Ratio

sebelum melakukan stroke up pada mesin ada baiknya teman2 memahami perhitungan/rumusan dibawah ini

Rod Stroke Ratio

(sumber dari berbagai artikel di web)

Diawali maraknya langkah bore up yang dilakukan oleh biker di Indonesia dengan cara menggeser pin big end di kruk as supaya langkah stroke juga bergeser, khususnya skutik, membuat saya tertarik untuk browsing lebih lanjut tentang hal tersebut. Saya kemudian mendapati istilah bule dalam hal ini adalah Stroker. Saya juga mendapati bahwa mereka tidak saja menggeser (mengganti) bid end di kruk as tapi juga mengganti setang piston dengan yang lebih panjang juga. Lalu ada istilah Rod to Stroke Ratio yang masih asing di telinga saya.. Saya lalu browsing lebih lanjut dan lebih banyak, saya save di flash disk lalu saya print, baru saya baca berulang-ulang.

Rod Stroke Ratio adalah Rasio Panjang Setang Piston (B) dan Panjang Stroke (A).
Dengan cara B dibagi A.

Masih menurut banyak artikel, lazimnya rasio pabrikan antara 1.4 di angka terkecil sampai 2.0 di angka rasio terbesar. Memang ada beberapa yang lebih dari 2.0 tapi sangat jarang ditemui. Rasio panjang dan pendek masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tinggal bagaimana tujuan yang akan dicapai. , bahwa kompromi itu lazim dalam mendesain atau membangun mesin. Masih menurut artikel yang banyak itu, Rod Stroke Ratio atau yang mereka sebut dengan “n” values, punya angka ideal di tengah-tengah antara pendek dan panjang yaitu 1.75 sampai 1.80.

Lebih lanjut dalam artikel Stroker tersebut, tujuan mereka ikut mengganti setang piston lebih panjang bersamaan dengan langkah mereka menggeser (mengganti kruk as) stroke yang lebih panjang, adalah supaya mempertahankan Rod Stroke Ratio seperti semula. Salah satu alasannya adalah keausan di dinding liner. Lalu ada istilah sudut setang piston atau Rod Angularity.

Rod Angularity atau pada gambar diatas adalah sudut P.

Semakin besar sudut tersebut (semakin kecil rod stroke ratio), maka tekanan yang diterima dinding liner silinder pun akan semakin besar..

Berikut gambar lebih detail, jika stoke sama, tetapi dengan panjang setang piston berbeda maka sudut P tersebut juga berbeda.

Semakin besar sudut P.. (misal pada gambar dibawah) maka tekanan kesamping/gesekan/friksi/power loss yg diterima dinding silinder saat kruk as berputar pun semakin besar..

Maka masih menurut artikel tersebut, semakin besar sudut selain masalah keausan, dipercaya juga adanya power loss yang lebih besar akibat friksi dengan dinding silinder juga semakin besar. Masih menurut artikel lagi, umunya race built purpose engine mengaplikasi rasio yang besar bahkan bisa sampai 2.2 atau lebih. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan pada mesin produksi massal karena panjang total dan besar mesin akan terlalu besar dalam hal cost dan space di engine bay.

Oh, iya… Para pelaku penaik stroke dalam artikel itu tidak perlu menggeser atau mengganjal blok silinder supaya lebih panjang (keluar) seperti yang biasa dilakukan di skutik di Indonesia.. Atau bahasa orang pinter, offset nya.. supaya pas TMA ma TMB nya sehubungan dengan panjang pendek blok silinder..
Karena menurut mereka (stroker).. Desain piston juga dipengaruhi Rod Stroke Ratio, khususnya panjang dinding piston dan posisi pin piston.. (jadi desain piston ada maksudnya)
Supaya rok piston gak mentok seperti ini..

Maka mereka menggunakan desain piston yang beda terutama pada peletakan pin piston (small end)..
Semakin besar Rod Stroke Ratio maka piston bisa semakin pendek panjang total nya dan posisi pin dapat lebih mendekati ring ketiga atau ring oli, atau semakin keatas.

Sejauh ini tampaknya memang lebih prefer ke Rod Stroke Ratio yang lebih besar, akan tetapi semuanya sangat relatif.
, Rod Stroke Ratio juga mempengaruhi kemampuan hisap mesin selain bore dan stroke tentunya.. Rod Stroke Ratio sangat berpengaruh pada piston position relatively from and to TDC. Piston position kan bukan cuma TMA dan TMB.

Misal suatu mesin memiliki stroke 50mm..
Satu stroke sama dengan putaran kruk as setengah lingkaran atau 180 derajat.
Misal saat putaran kruk as 90 derajat, atau setengah stroke (full stroke 180 derajat), sangat kecil kemungkinan posisi piston berada tepat ditengah stroke atau 50mm/2 = 25mm dari TMA ataupun TMB.
Rod Stroke Rasio sangat menentukan posisi piston ini.. Rasio yang berbeda, akan membuat piston position yang berbeda pula terhadap TMA dan TMB masing-masing..
Misalnya, rasio 1.7, saat kruk as 90 derajat, posisi piston 23mm dari TMA.
Sedangkan rasio 1.4, saat kruk as 90 derajat yang sama, posisi piston di 26mm dari TMA.

Dengan contoh diatas, maka kemampuan hisap mesin pun berbeda.. karena dipercaya satu desain lebih cepat bergerak dari dan menuju TMA daripada desain yang lain. Dan hal ini dipercaya Rod Stroke Ratio sangat menentukan.
berdasarkan posisi piston tersebut dan kecepatan piston saat mendekati TMA atau TMB, dapat ditentukan besarnya payung klep, desain port, panjang pendek port, besar kecil port, dan terpenting lagi durasi camshaft yg optimal khususnya patokan kapan sebaiknya puncak lobe ditempatkan.. lebih dini, atau lebih lambat.. Puncak lobe disebut Lobe Centerline, yaitu saat klep akan membuka maksimal lift nya.

Konon juga dari Rod Stroke Ratio dapat di prediksi mana yang lebih diutamakan dari desain port, klep, dan cam, yaitu lebih mengutamakan velocity atau cfm.
Tentu saja berdasarkan kecepatan piston turun dan posisi piston..

Klo saya menilai dari artikel tsb, misal lift maksimal terjadi terlalu dini pada mesin ber rod stroke ratio besar, saat piston bergerak lambat menjauhi TMA, tapi dikasih lift maksimal, dan desain port gede.. maka semuanya jadi mubazir dan gak optimal.. seharusnya lift maksimal diberikan saat piston mulai cepat bergerak menuju TMB.. Karena kecepatan piston gak sama dari dan ke TMA juga TMB. Sedangkan Rod Stroke Ratio Kecil, pergerakan piston menjauhi TMA saat langkah hisap dipercaya lbh cepat.. dan akan memperlambat saat mendekati TMB dan manjauhi TMB.. Tentu saja jika dibandingkan Rod Stroke Ratio yang bebeda.

Menurut saya teori ini sangat menarik dan make sense bagi saya, dan tidak semata untuk yang mau ngeser stroke tapi juga supaya kita bisa lebih memahami mesin standar kita sendiri.. Rod Stroke ratio, berapa sudut mesin kita? Trus klo teori ini digabungkan ma teori sudut mesin, misal V 90 derajat.. maka akan semakin menarik lagi.. mungkin saja kan sudut kemiringan mesin bukan asal miring? ato karena alasan sirkulasi oli atau gaya gravitasi yg membantu sekaligus membebani kerja mesin.. tapi mungkin saja sudut kemiringan silinder juga untuk mengakali friksi rod stroke ratio..
teman-teman silahkan ber intepretasi sendiri,

untuk lebih jelas melihat gambarnya teman2 bisa kunjungi blog


(semoga bermanfaat)

TERIMA KASIH

Perbedaan cdi BRT hyperband dan dualband

CDI BRT Hyper Band memiliki Fitur:
1 Unlimiter
2 Automatic Low Voltage Protection (ALVP)
3 Multi Step Ignition Curve
4 Plug and Play
Artinya CDI ini bedanya ma Standar di LImitednya... CDI BRT tanpa limit tidak seperti CDI Standar
Aplikasinya tinggal pasang dan cukup tidak perlu merubah yang lainnya.
sedangkan
CDI BRT Dual Band memiliki Fitur:
1 2 Kurva Pengapian
2 Automatic Low Voltage Protection (ALVP)
3 Multi Step Ignition Curve
4 Plug and Play
5 Unlimiter
6 Terdiri 3 jenis pemakaian :
a. Standar - Tune Uo (ST)
b. Tune Up - Racing (TR)
c. Racing - Kompetisi (RK)
Spesifikasi :Hyperbad DC
1 CDI Type : DIGITAL DC System
2 Operating Voltage : 8 s/d 18 VDC
3 Mikroprosessor : NXP Founded by Philips Semiconductor
4 Current Consumption : 0.05 s/d 0.75 A
5 Output Max : 300 Volt
6 Operation Temp : -15° to 80°C
7 Operation Freq : 400 to 20.000 RPM

FEATURES
1 Unlimiter
2 Automatic Low Voltage Protection (ALVP)
3 Multi Step Ignition Curve
4 Plug and Play

BENEFIT
1 Hemat BBM hingga 29,9 %
2 Meningkatkan respon dan akselerasi
3 Powerband bertambah hingga 2000 rpm
4 Hemat pemakaian Accu hingga 30%
5 Tenaga motor meningkat hingga 20%**

Catatan :
* Dilakukan uji coba oleh team media motorplus dan otomotif
** Pada jenis motor dan rpm tertentu.





CDI BRT Dual Band

Berikut Aplikasi
Standard dan Tune-Up (ST)

Kurva I : Standar (S)

Kurva Standard sama dengan standard original tetapi tanpa limiter/batasan, dirancang agar emisi gas buang tetap lulus uji Euro 2, kami enyebutnya GREEN CDI.

Kurva II : Tune-Up (T)

Kurva Tune Up dipakai untuk meningkatkan tenaga dan akselerasi.

Rekomendasi Aplikasi (ST):
Pemakaian : Standard dan Tune Up / Kohar (Korek Harian)
Bahan Bakar : Permium dan Pertamax
Kondisi Mesin : Standard / Semi Tune Up
Perbandingan Kompresi : 9 : 1 s/d 10.5 : 1
Cam Shaft/Noken As : Standard / Modifikasi
Knalpot : Standart / Racing
Spuyer : Standart / Penyesuaian.

Tune-Up dan Racing (TR)

Kurva I : Tune-Up (T)

Kurva Tune Up dipakai untuk meningkatkan performa tenaga, torsi, akselerasi dan power band yang lebih luas.

Kurva II : Racing (R)

Kurva Racing dipakai dalam penerapan racing modifikasi untuk performa tinggi.

Rekomendasi Aplikasi (TR)
Pemakaian : Semi Tune Up (Kohar) dan Racing
Bahan Bakar : Pertamax s/d Avgas
Kondisi Mesin : Semi Tune Up s/d Full Modifikasi
Perbandingan Kompresi : 10.5 : 1 s/d 13.8 : 1
Cam Shaft/Noken As : Standard / Modifikasi
Knalpot : Standart / Racing
Spuyer : Penyesuaian.

Tune-Up dan Racing (RK)

Kurva I : Racing (R)

Kurva Racing dipakai dalam penerapan racing modifikasi untuk performa tinggi.

Kurva II : Kompetisi (K)

Kurva Kompetisi dipakai untuk penerapan ekstrem modifikasi.

Rekomendasi Aplikasi (RK)
Pemakaian : Full Racing / Drag Race
Bahan Bakar : Pertamax Plus, Avgas dan Racing Fuel.
Kondisi Mesin : Full Modifikasi.
Perbandingan Kompresi : 12.3 : 1 s/d 16 : 1
Cam Shaft/Noken As : Modifikasi
Knalpot : Racing
Spuyer : Penyesuaian.

Maksudnya yang Dual Band melebihi Keunggulan CDI BRT yang Hyperband dengan adanya tambahan setting kurva Pengapian. untuk level diatas standar tinggal klik ke kurva ke dua. motor pun lebih ngacir...

Mudah mudahan manfaat...
materi referensi:
CDI BRT Hyperband
http://www.bintangracingteam.com/index.p

CDI BRT Dual Band
http://www.bintangracingteam.com/index.p

Buat lebih jelasnya silahkan ke
http://www.bintangracingteam.com/


(semoga bermanfaat)

Menghitung torsi dengan karakter motor over bore dan over strok

Yuu... kita sama2 belajar menghitung torsi dengan karakter motor over bore dan over stroke



1.Cranking pressure = kgf / cm 2

2.Luas Permukaan Piston = 3.14 x diameter kuadrat / 4

--> asumsi piston flat tanpa coakan.

3.Gaya yg diterima piston

= Cranking Pressure dikali Luas Permukaan Piston

4.Torsi yg dihasilkan pada poros kruk as

= Gaya yg diterima piston x Stroke / 2



Ok, kita misalkan saja untuk



1.Cranking pressure = 50 kgf / cm2 <sama untuk kedua mtr>

2.Motor A, ambil contoh aja Supra 125

- bore x stroke = 52.4 x 57.9

- displacement = 124.8 cc

3.Motor B, ambil contoh Zone

- Diameter x Langkah : 56,0 x 50,6mm

- Jumlah & Isi Silinder : Satu buah & 124,6cc



over stroke (ukuran stroke lebih besar dari pada seher)


catatan : cranking pressure disini, maksudnya (tekanan) pas

terjadi ledakan di combustion chamber, dan sebagai contoh

dianggap sama untuk kedua motor. Ceritanyakita coba ngitung

berapa gaya yg diterima piston,dan berapa torsi yg duhasillkan.


Untuk Motor Yg Over Stroke

- Luas Perm Piston = 3.14 x 5.24 x 5.24 / 4 = 21.554 cm 2

- Gaya yg diterima piston dengan cranking pressure 50 kgf / cm2

..= 50 kgf / cm2 x 21.554 cm2 = 1077.7 kgf



- Torsi yg dihasilkan pada poros kruk as

= 1077.7 kgf x 5.79 cm / 2 = 3119.9415 kgf.cm

= 31.199415 kgf.m

= 305.754 Nm



over bore (ukuran seher lebih besar dari pada stroke)


<note, ini cuma contoh yah, cranking pressure pada ruang

bakar supra 125 sebenarnya ga nyampe 50 kgf / cm2)



B.Untuk Motor Yg Over Bore

- - Luas Perm Piston = 3.14 x 5.06 x 5.06 / 4 = 24.6176 cm 2

- Gaya yg diterima piston dengan cranking pressure 50 kgf / cm2

..= 50 kgf / cm2 x 24.6176 cm2 = 1230.88 kgf



- Torsi yg dihasilkan pada poros kruk as

= 1230.88 kgf x 5.06 cm / 2 = 3114.1264 kgf.cm

= 31.141264 kgf.m

= 305.184 Nm



Dengan contoh cranking

pressure 50 kgf / cm2 juga didapet hasil bahwa zone

yg over bore ama karisma yg over stroke ternyata bisa punya

torsi yg sama. Asalkan cranking pressure nya sama.



nah dengan contoh perhitungan ini ....teman2 bisa mengaplikasikan pada motor korekan masing2...

dan bisa buat kesimpulan masing2...berarti ga selamanya yg memiliki stroke panjang memiliki torsi yg besar asalkan Cranking pressure (kompresi/tekanan) di perhitungkan dengan tepat...buktinya motor yg memiliki stroke yg lebih pendek bisa menyamai torsinya dengan stroke yg lebih panjang....hayo yg mau sroke up....itung2 dulu oke...biar ga mubajir...





semoga bermanfaat deh

berbagai sumber



(TERIMA KASIH)


Minggu, 01 Januari 2012

Rasio Motor Standar

- YAMAHA jupiter-Z / Crypton / Vega: 1(12-38), 2(17-33), 3(21-28) & 4(21-23).


- YAMAHA MIO : 13-42


- YAMAHA F1ZR: 1(12-39), 2(16-29), 3(19-25) & 4(22-23).


-YAMAHA jupiter MX: 1(12-34), 2(16-30), 3(17-23) & 4(22-23).


- YAMAHA RXZ & Touch125: 1(12-34), 2(16-29), 3(19-26), 4(21-24), 5(23-23) & 6(24-22)

- YAMAHA RX-KING: 1(12-34), 2(16-30), 3(19-26), 4(22-24) & 5(24-22).

- KAWASAKI KAZE/BLITZ: 1(12-36), 2(16-31), 3(20-27) & 4(23-25).

- KAWASAKI NINJA R: 1(10-27), 2(17-29), 3(20-26), 4(24-24), 5(21-20) & 6(22-19).

- KAWASAKI NINJA RR: 1(10-27), 2(17-29), 3(20-26), 4(22-24), 5(21-20) & 6(22-19).

- HONDA KHARISMA / SX125: 1(14-35), 2(20-31), 3(20-23) & 4(26-24).

- HONDA Supra / Grand 110 / Supra Fit 110: 1(12-34), 2(17-29), 3(21-26) & 4(24-23).

- HONDA BLADE: 1(13-34), 2(18-28), 3(22-25) & 4(24-22).

- SUZUKI spin / Skywave: 13-45

- SUZUKI Smash: 1(11-33), 2(16-30), 3(19-26) & 4(19-20).

- SUZUKI New Smash: 1(11-33), 2(16-30), 3(19-26) & 4(19-20).

- SUZUKI Shogun FL125: 1(11-32), 2(12-25), 3(17-22) & 4(19-20).

- SUZUKI Shogun 125: 1(11-33), 2(14-25), 3(17-22) & 4(19-20).

- SUZUKI Shogun 110: 1(11-33), 2(16-30), 3(19-26) & 4(19-20).

- SUZUKI Satria 120 : 1(11-32), 2(14-23), 3(18-20), 4(21-23), 5(18-20) & 6(17-21).

- SUZUKI Satria FU150: 1(12-33), 2(14-25), 3(19-26), 4(21-23), 5(23-21) & 6(25-20).